Sunday, June 21, 2015

Sebuah Surat Untuk Siapa

Hidup itu seperti air hujan… jatuh dari langit ke bumi, tanpa kita tahu akan mendarat dimana.



Untuk : Anginku - yang meniupkan nafas atas perjalanan tak tergantikan ini.



Dear Angin,

Kamu tahu, aku paling tidak suka menulis surat. Tapi ini adalah pengecualian. Karena mungkin ini saat terakhir untuk kita. Aku tidak berharap banyak. Aku sudah cukup senang kamu mau membaca suratku, membayangkan seperti kita sedang bertemu dan berbicara, seperti dulu. Sungguh, menyenangkan sekali.

Kamu tahu?

Perpisahan yang terjadi diantara kita adalah sebuah kehilangan untukku. Sekian jauh kita melangkah, sekian rasa senang dan sakit kita lewati–dan kita harus berakhir seperti ini. Bukan, maksudku bukan berakhir buruk. Bukankah kamu yang menginginkan pernikahan itu? Aku lebih memilih kata-kata "berakhir seperti ini". Karena baik atau buruk itu hanyalah di mata kita, bukan di mata Tuhan.

Biarkan aku sedikit bercerita, bolehkah?

Kamu ingat penjual lalapan super pedas kesukaan kita? Terakhir aku ke sana dia tidak lagi cemberut saat melayani. Sudah berbeda. Senyumnya lebih tulus.

Harga makanannya semakin mahal (aku tidak ingat harga terakhir, karena sudah lama sekali tidak kesana--sejak bersamamu). Tapi tak apalah, sepadan dengan kenangan dan "pedas"nya.

Aku menempatkannya di urutan kedua setelah Jogja--tempat favorit kita.

Ikan tongkol pilihanmu tetap ada kok. Suatu saat jika kau "pulang", datanglah ke sana. Tapi jangan kecewa... ada yang tidak berubah di sana. Pegawainya masih tetap tidak mengenakan alas kaki alias nyeker. Kamu pernah mengeluhkan soal itu kan? Katamu, "Ih, Yang.. jorok ya?". Ha! Tapi kamu tetap saja merengek minta kesana kalau sedang ingin.

Lain lagi dengan penjual terang bulan imut idolamu. Sudah beberapa bulan ini tak lagi nampak di tempat biasanya. Mungkin terkena gusuran atau sudah beralih ke usaha lain.
Kismis dan keju... Hmmmm.... masih ingatkah kamu akan kelezatannya? Kamu selalu bilang, "ayo, Yang... kita beli lagi" Tapi ujungnya, aku juga yang menghabiskan bagianmu.

Masih ada, pengamen tua yang sering kita temui setiap kita kemanapun. Ingat? Yang selalu membawa gitar tanpa senar, dan memakai kacamata hitam? Kita selalu berdebat apakah dia buta atau tidak. Kupikir dia cocok dengan lagu Roma Irama yang berjudul "Pengelana". Dia ada dimanapun kita ada! Di kampus, di warung, di jalan raya, di semua sudut kota malang dia ada! Seperti malaikat saja. Dan saat bertemu dengannya, tanganmu yang mungil selalu menyodorkan lembaran uang pada pengamen tua itu. Setelahnya, kamu akan melihatku dan menunjukkan senyum bahagia. Sungguh, tidak pernah sekalipun aku ingin melewatkan ekspresi wajahmu saat itu.

Aku pernah mencarinya, pengemis itu. Tapi tidak kutemukan dimanapun. Mungkin dia mengikutimu ke sana. Mungkin juga sudah meninggal. Jika itu yang terjadi, berarti dia bukan Malaikat.

Krisan. Bunga yang pernah kita beli.. dan mati. Wajah sedihmu selalu menghantuiku. Ah, ingin sekali saat ini aku membelikanmu berpuluh bahkan beratus krisan, agar wajah sedihmu tak lagi mengusikku...

Kenangan kita terlalu banyak, atau aku yang terlalu mengingatnya.

Tahukah kamu, aku mengetahui rahasiamu....

Setelah kita berpisah, kamu pernah mengirimiku sms, dan menyamar menjadi orang lain. Kamu pikir aku tidak tahu itu? Aku tahu sejak sms pertamamu. Masih ada, kusimpan di hp bututku.

"Kamu suka bunga?"

Aku tahu itu kamu. Kamu ingin tahu kenapa aku tahu? Karena saat membacanya hatiku berdetak keras. Dan aku tahu itu kamu.

Ya Tuhan, aku menikmati perjalanan kita. Berdua membuat puncak gunung terlihat dekat, dan sungai seolah dangkal. Riaknya kadang memercik muka, tapi selalu kau basuh dengan tanganmu hingga sinar mentari bercahaya kembali di sana. Berkali-kali duri menusuk kakiku, tapi kau selalu ada di sisiku untuk mengusapnya.

Perjalanan kita yang begitu panjang dan penuh rintangan, tanpa terlihat akhirnya akan seperti apa. Persinggahan demi persinggahan memantapkan hatiku. Serbuan badai menguatkan tekadku. Dan suatu saat, aku sadar. Aku telah siap untukmu. Untuk kita. Aku telah siap. Namun aku terlambat…

Ternyata perjalanan kita membuatmu lelah. Hingga kamupun menanggalkan kita, dan mengejar cinta yang lain. Aku menyesalinya, tak melihat bagaimana keringat telah menetes di tubuhmu. Aku tak melihatnya, ternyata kau telah melewati batas kekuatanmu.

Tidak ada lagi bayangan akan rumah mungil dengan kolam kecil dan taman bunga. Tidak ada lagi jalan-jalan tiap minggu pagi. Tidak ada lagi seorang anak perempuan cantik yang akan menghiasi masa depan kita. Tidak ada lagi. Aku sedih sekali mengingatnya.

Bagaimana denganmu?

Angin,

Engkau bukan tercipta dari tulang rusukku, tidak seperti yang dulu pernah kau bilang. Ternyata aku bukan soulmate-mu. Kebersamaan kita bukan pemberhentian, hanya sebuah persinggahan dalam hidup.
Apakah jalan kita akan bertemu kembali di ujung sana, ataukah semakin jauh jarak antara kita, aku juga tidak akan pernah tahu. Aku cukup bahagia pernah menjadi hari-harimu.

Akan sulit bagiku mengikhlaskanmu. Tapi setidaknya aku sudah merelakanmu. Kebahagiaan bagiku melihatmu duduk di pelaminan. Namun ada kesedihan saat tahu bukan aku yang ada di sebelahmu.

Seiring dengan berakhirnya surat ini engkau baca, maka berakhir pulalah perjalanan kita. Cerita kita sungguh indah. Yang terindah yang pernah kumiliki. Karena itu, aku ingin mengucapkan,

Terima kasih...
untuk semua kenangan itu. Perjalanan ini sungguh takkan pernah tergantikan.


Yang mencintaimu,
Aku.

lalu, aku harus mengirimkan surat ini pada siapa?... (-.-!)

No comments:

Post a Comment

Sample Text

Sepakbola

Gadget

Feature

Entri Populer

Opini